Minggu, 08 Januari 2012

Candi BOROBUDUR


Candi Borobudur adalah nama sebuah candi
Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini
didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar
tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra. Dalam etnis Tionghoa, candi ini disebut juga 婆羅浮屠
(Hanyu Pinyin: pó luó fú tú)
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah
satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari
kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat
beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur
berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi
menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal
dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari
kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara
berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau
biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah
biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan
gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah
tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan
Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja mataram dinasti Syailendra bernama Samaratungga, yang
melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu
Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan
memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah
pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah
Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal
muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan
leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa
Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti
"Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur.
Struktur Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari
enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk
bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.
Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas
filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui
untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia
yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini
sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat
untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga.
Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang
masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli
dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu
adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam
atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat
pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief.
Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa
atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan
ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari
segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan.
Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar
ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau
disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai
patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak
pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai
itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi
yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung
seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu
dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala,
tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand,
Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia)
pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda
ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-
candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan
jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke
arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari
bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli
dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Candi Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang
bisa menempel tanpa lem.
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-
relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta
daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam
isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di
sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa
candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa
benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat
bermakna sebagai berikut :
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang
menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut
menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab
akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap
perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala.
Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan
manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak
pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang
akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir
dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah
melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari
tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan
untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang
Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan
lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari
Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang
berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis
dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha
di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma
dilambangkan sebagai roda.
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari
makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha
menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka
akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang
lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang
berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan
awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam
deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau
untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup
dalam abad ke-4 Masehi.
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah
cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam
usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati
oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan
pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha,
dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya
yaitu Bhadracari.(Artikel berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks you..
terima kasih...
matur nuwun..